Sabtu, 16 Januari 2021

Thaqatal Insan

 Potensi Manusia


Allah Ta’ala membekali manusia dengan at-thaqah –potensi-, yaitu as-sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fuadu (hati). Banyak sekali firman Allah Ta’ala yang menyebutkan tentang hal  ini, diantaranya adalah.


قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ

“Katakanlah: ‘Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati’. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk, 67: 23)


Allah Ta’ala menganugerahkan telinga kepada manusia yang dengannya ia dapat mendengarkan ajaran-ajaran agama Allah yang disampaikan kepadanya oleh rasul-rasul Allah. Dianugerahi-Nya pula manusia mata yang dengannya ia dapat melihat, memandang dan memperhatikan kejadian alam semesta ini. Diberi-Nya manusia hati, akal dan pikiran untuk memikirkan, merenungkan, menimbang dan membedakan mana yang baik bagimu dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana pula yang tidak bermanfaat. Sebenarnya dengan anugerah-Nya itu manusia dapat mencapai semua yang baik bagi dirinya sebagai makhluk Allah.[1]


Firman-Nya yang lain:


وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl, 16: 78)


Allah Ta’ala mengeluarkan manusia dari rahim ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Tetapi sewaktu masih di dalam rahim, Allah Ta’ala menganugerahkan bakat dan kemampuan pada diri manusia, seperti bakat berpikir, mengindra dan lain sebagainya.


Setelah manusia itu lahir, dengan hidayah Allah Ta’ala segala bakat-bakat itu berkembang. Akalnya dapat memikirkan tentang kebaikan, kejahatan, kebenaran dan kesalahan, hak dan batal. Dan dengan bakat pendengaran dan penglihatan yang telah berkembang itu manusia mengenali dunia sekitarnya dan mempertahankan hidupnya serta mengadakan hubungan sesama manusia. Dan dengan perantaraan akal dan indra itu pengalaman dari pengetahuan manusia dari hari ke hari semakin bertambah dan berkembang. Kesemuanya itu merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia yang tidak terhingga.[2]


Karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan al-mas’uliyyah (tanggung jawab) yang telah dipikulkan kepadanya, yakni mempergunakan segala nikmat Allah Ta’ala itu untuk beribadah dan patuh kepada-Nya.


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)


Di saat memikul al-mas’uliyyah itu, ada dua pilihan di hadapan manusia; apakah menindaklanjutinya dengan al-amanah (sikap amanah) atau dengan al-khiyanah (sikap khianat).


****


Mereka yang memilih sikap amanah, di dunia ini akan dianugerahi kehormatan al-khilafah (kepemimpinan), sebagaimana disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya.


وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur, 24: 55)


Berkenaan dengan al-khilafah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan manusia:


Pertama, manusia bukan pemilik yang hakiki (‘adamu haqiqatil mulkiyah), karena Pemilik yang hakiki adalah Allah Ta’ala.


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr, 59: 23)


Allah itu merajai segala apa yang di bumi dan di langit, bertasbih kepada-Nya dengan kehendak-Nya berdasarkan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, suci dari segala yang tidak layak dan tidak sesuai dengan ketinggian dan kesempurnaan-Nya. Tuhan Yang Maha Perkasa, menundukkan segala makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya, Maha Bijaksana dalam mengatur hal ihwal mereka. Dia-lah yang lebih mengetahui kemaslahatan mereka, yang akan membawa mereka kepada kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat kelak.[3]


يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 1)


Kedua, manusia harus mengembannya  sesuai dengan kehendak pihak yang mewakilkan kepemimpinan tersebut ( at-tasharruf bi-iradatil mustakhlif), yakni Allah Ta’ala.


Apa yang dikehendaki Allah Ta’ala dari mereka yang telah diberi kekuasaan di muka bumi?


Dia berfirman,


الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj, 22: 41)


Ayat di atas menegaskan bahwa mereka yang diberi kekuasaan di muka bumi hendaknya melakukan hal-hal berikut ini:


Mendirikan shalat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Makna yang lebih luas adalah bahwa para pemimpin Islam hendaknya membimbing umat Islam agar menjalankan shalat dan peribadahan dengan konsekuen, mengarahkan mereka agar menjaga hubungan dengan Allah Ta’ala, menjaga akhlak, keimanan, dan ketakwaan mereka. Karena salah satu tujuan dari shalat adalah menyucikan jiwa dan raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar serta mewujudkan takwa yang sebenarnya.

Menunaikan zakat. Makna yang lebih luas adalah bahwa para pemimpin Islam hendaknya mengarahkan umatnya agar meyakini bahwa di dalam harta si kaya terdapat hak orang-orang fakir dan miskin. Dengan kata lain, seorang pemimpin Islam hendaknya berupaya mewujudkan solidaritas sosial di tengah-tengah umatnya, diantaranya adalah dengan menegakkan syariat zakat.

Menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah perbuatan munkar. Para pemimpin Islam memiliki tugas untuk mendorong manusia mengerjakan amal saleh, memimpin manusia malalui jalan lurus yang dibentangkan Allah, dan dengan kekuatannya, mereka mencegah orang-orang yang biasa mengerjakan larangan-larangan Allah. Dengan kata lain, seorang pemimpin Islam berkewajiban menjalankan fungsi kontrol sosial.

Tindakan mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala,


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran, 3: 110)


Ketiga, dalam mengembannya manusia tidak boleh menentang peraturan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala (‘adamut ta’addi ‘alal hudud).


Sebagai pengemban khilafah, manusia wajib melaksanakan peraturan Allah dan menjaganya. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa salah satu ciri-ciri orang beriman itu adalah,


وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ

“…dan yang memelihara hukum-hukum Allah.” (QS. At-Taubah, 9: 112)


Jadi, sebagai individu dan pemimpin, manusia harus berupaya menjaga diri dan umatnya agar tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah Ta’ala, yaitu berupa syariat dan hukum-hukum-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laporan dan video promosi MS by Kyrafi

 Adapun laporan produk kami yaitu sebagai berikut :  Laporan pembuatan produk sajadah MS by Kyrafi Adapun video promosi produk kami yaitu se...